GADIS DESA TENGAH KOTA (Cerita Fiksi)

Dibuat : 15.31 / 24-12-2013
Ditulis : Fikih Hidayatulloh


BADRIAH binti PULAN namanya..

Anak soleha dari Desa Bendungan disebuah piggiran Jawa, tempat yang sejuk nan permai dengan hidup yang penuh dengan kesederhanaan. Dia anak tunggal yang datang dari keluarga tak kaya namun terpandang namanya, dengan bapaknya sebagai Haji dan Ibunya penyemai padi. Suasana damai dengan hamparan buih padi didepan dan ketegakan gunung hijau yang menjulang dibelakang, sangat subur dengan berbagai hasil lahan pertanian yang cukup berhasil memberi penghidupan, kesegaran air melintas membelah dua desanya membuat kesegaran dan permai semakin nyata. Tanah yang memanjakan mata dari sudut yang berbeda, memberi kesan dalam bukan kelam, keriuhan anak-anak yang bermain dengan tidak manja, keramahan masyarakat desanya yang dapat bergerak bersama tanpa ada embel apa-apa dan kejujuran yang dijunjung pada tempat tertinggi.
Disana dirumah tak besar dalam sebuah kamar belasan tahun yang lalu dia dilahirkan oleh seorang Dukun yang masih saudaranya, Badriah kala itu belum ada nama untuknya. Jeritan panjang Ibu yang telah menimang 9 bulan lamanya terhenti seketika saat setelah buah hati keluar dari rahimnya, keras tangis Badriah. Lumuran air mata basah dipipi ketiganya, Ayah, Ibu juga Badriah, rangkaian do'a tanda syukur tak henti-henti diucapkan menyambut datangnya Badriah. Kencang tangis Badriah, tangisan pertama yang dibungkam dengan adzan ditelinga kanan dari Bapaknya H. Sodri, selanjutnya basuhan air dari tempayan yang cukup besar belai wajah Badriah yang terhias tahi lalat pada bawah bibir kirinya, usapan lembut rambut hitam tebal dan bergelombang membersihkan sisa darah dan air ketuban yang masih melumurinya sampai bersih sekujur tubuh. Badriah sangat dinanti, pelukan Ibu dengan lelah setelah perjuangan tadi menyambut sambil memberi ASI, rona bahagia terpancar, tersirat dengan air mata yang sejak tadi tak henti diiringi syukur dalam hati dari Dua orang tua yang sudah lama harapkan kehadiranya. Itu karena Badriah anak pertama mereka, dari pernikahan hampir 12 tahun lamanya. Dia adalah anugerah, yang mereka terima 3 hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan Negara Kita yang ke-47. Badriah adalah kemenangan bagi mereka, kemenangan dari perjuangan yang panjang, kemenangan dari berbagai ujian yang kini berhasil mereka lewati ber-dua.

Badriah dibesarkan dengan penuh cinta dari kedua orang tuanya sejak kecilnya, remajanya hingga kini Badriah menjadi seorang Perempuan dewasa. Hari-hari yang luar biasa menempanya, hari ketika matahari belum terbit Badriah harus menemani sang ayah mencari pembeli untuk macam-macam buah yang disemai setiap hari, selanjutnya berjalan cukup jauh untuk mencapai sekolah dengan harapan besar nanti tak seperti orang tuanya yang hanya petani. Badriah tidak berhenti, menjelang sore dia harus segera mandi dan bersiapa mengaji sebagai bekal pengendali diri.

Cepat waktu berlalu Badriah sudah bukan seorang anak kecil lagi, Dia sudah menjadi wanita cukup dewasa dengan berbagai bekal diri. Badriah sudah merasa siap untuk pergi mengejar mimpi dan membalas budi Orang Tua yang telah membesarkan dan mengasihinya sejak 9 bulan sebelum Dia melihat indahnya bumi. Badriah merasa harus merubah keluarganya, memberi kebahagiaan sebagai bentuk bakti, tentu itu tak dapat dilakukannya hanya dengan bertani.

Kini 21 tahun usianya, Badriah sudah berada ditempat yang berbeda, 3 tahun sudah dia tinggalkan tanah kelahirannya. Badriah yang manis masa kecilnya sangat kukenal, gadis periang rambut ikal agak panjang dan hitam menghiasi dari bahu hingga hampir seluruh punggungnya. Tubuhnya tinggi Dia selalu bilang itu menggambarkan begitu juga mimpi dan cita-citanya. Senyumnya selalu terlempar dengan mudah, semua yang ditemui selalu disapanya sampai hampir kenal semua orang dikampungnya. Dia orang yang suka bertanya, bahkan terlalu banyak, hingga kadang dibuat pusing orang yang ditanya Badriah. Lingkar wajahnya diselimuti dengan kain berwarna yang dia suka, itu akan memperjelas identitasnya dan seperti apa dia. Anak kecil yang cukup nakal karena dia tak seperti remaja seusianya, dia suka sepak bola bukan boneka, dia rela tubuhnya agak kotor meski pulang Ibu-nya memarahinya dan dia tak akan bilang lelah meski raut wajah suadah menjawabnya.

Tiga tahun lalu Badriah datang, dia meminta agar Ibu Kota menerima kehadirannya, tapi Ibu Kota hanya diam tak menjawab apa-apa dan entah itu memiliki arti apa. Mungkin itu karena Ibu Kota tau Badriah tetap akan datang meski Ibu Kota menolaknya, sedang Ibu & Bapaknya saja tak bisa menahannya dan hanya meminta "Tuhan jagalah anak Saya!". Lelah tersirat dari raut wajah lusuh setelah perjalanan yang cukup panjang dalam redup jingga senja Jakarta. Teman satu Desa telah menyambutnya orang yang menjajikan surga di Ibu Kota unduk Badriah, Desinta namanya walau sebenarnya Nuraini ketika Badriah di Desa mengenalnya. Bngunan petak disudut kota jakarta ini akan menjadi tempat tinggal Dia dan Temannya, meski agak sempit tapi ini cukup bagi Badriah. Jatuh tubuhnya dalam ranjang tidur tempat lelahnya terkubur. Tubuhnya terlihat lelah dan pasrah dengan wajah tengadah dan mata seolah menembus langit-langit menggambar rumah dimana Ibu dan Bapaknya berdo'a untuk-Nya. Larut dia dalam selimut waktu beberapa saat, selanjutnya pelan berkaca matanya dan sedetik kemudian menjurus deras sudah basahi kedua pipinya membelah debu sisa perjalannya. Harapan senantiasa dia sampaikan kepada Yang Kuasa, agar ditempat ini Tuhan dapat wujudkan cita-cita dan mimpi tingginya, melindungi setiap langkahnya, menjaga keberadaanya juga membimbingnya dalam jalan kebenaran.

Bangkit dia dari tidurnya meski harus agak memaksa, disekanya air mata dengan ujung kerah bajunya kiri dan kanan, diambil tas yang dibawanya dari desa dengan diseret karena tak ada lagi tenaga yang tersisa, dibuka dan Dia ambil mukenanya. Selanjutnya badriah beranjak kesumur, Dia berkumur, membasuh hidungnya, membilas muka dengan sisa air mata, sebagian kening ke kepala, telinga kemudian terakhir kakinya sesuai yang diajarkan Bapaknya. Duduk lah dia kemudian larut dalam dunia yang hanya ada Dia dan Tuhannya berada, lama dia disana, bebincang seolah yang Dia tuju ada di hadapanya, menyampaian keluh, kesah, minta dan harapan agar kedua Orang Tua-nya selalu terjaga dalam lindungan-Nya.

Badriah harus bangkit dan mulai bergerak mengejar mimpinya, bahkan berlari jika perlu agar lebih cepat menggapainya. Ini Ibu Kota, mereka akan menelan siapa saja yang lemah dan lengah, tak ada waktu lagi untuk berdiam dalam kesedihan yang dalam dan Badriah harus bergerak dengan langkah tajam.

Tak perlu waktu yang lama untuk mengejar mimpinya, kini tiba hari Desinta kawanya membawa berita menggembirakan yaitu, pekerjaan untuknya. Pekerjaan mudah untuk Badriah yang hanya berbekal ijazah Sekolah Menengah Pertama di Desa. Desinta belum selesai, selanjutnya dia menjelaskan pelan sambil makan bahwa Badriah hanya harus menemani pelanggan yang datang berbincang-bincang disebuah meja bundar, kotak atau persegi panjang itu saja. Badriah menyetujuinya, itu karna Dia suka berbincang dengan siapa saja, berbincang adalah sumber ilmu baginya. Berikutnya Badriah harus berdandan, membuka kerudungnya dan memakai pakaian yang ditentukan ditempatnya bekerja, detailnya adalah baju yang cukup ketat dan rok hitam yang hanya menutupi bagian pantat(*maaf). Diam Badriah cukup lama, menunduk lesuh tanpa kata sampai temannya menyadarkan dan mengembalikannya dalam diskusi sederhana. Dasar pedagang, berusaha keras Desinta meyakinkannya dengan segala cara dan ragam permainan kata akhirnya membuat Badriah tak beralasan lagi untuk menerima. Lusa adalah senin Desinta mengingatkan itu hari partama bagi Badriah dan mengganti nama-Nya menjadi "DIAH" bukan lagi Badriah. Diwaktu tengah malam Badriah harus bekerja, sementara yang lainya justru pulang dan beristirahat.

Kini kisah yang bebeda mulai berbicara, Badriah larut tenggelam dan terseret arus dalam Gemerlap kehidupan Ibu Kota yang sebaian penghuninya tidak dapat dipercaya. Semua berubah yang awal dinilai tabu untuknya sekarang malah dianggapnya biasa saja, halal atau haram baginya sama saja dan yang terpenting uangnya harus ada.Benar saja, mendapatkan sejumlah Uang hal yang mudah untuknya, karena Badriah begitu menarik dan akan membuat siapa saja melirik dan tertarik dengan kesempurnaan yang dimiliki. Om Budi, Ridho, Pak Hadi, Mas jaya dan banyak lagi orang atau pelanggan memberi ketika Badriah meminta, apa saja dan berapa saja.

Desinta tersenyum senang dan menang, karena Badriah tak lupa pada jasanya. Mereka akan selalu bersama ketika tidak sedang bekerja, berbelanja, makan, hiburan tengah malam dan apa saja. Badriah bukan lagi gadis desa, Dia telah menjadi sosok yang berbeda, Dia mampu kirimkan uang berapa saja tak peduli didapat dengan cara apa, meski Orang Tuanya curiga, membeli apa saja dan pergi kemana saja ketempat yang dia suka. Ibu Kota telah menelannya dengan segala surga dunia yang ditawarkan, agama sudah tak lagi bersamanya dan badriah telah meninggalkannya entah dimana.

Dunia baru telah menguasai Badriah dan membuat-Nya lupa siapa Dia sebenarnya. Dunia baru tentu saja gaya hidup baru, mulanya hanya coba saja selanjutnya tentu saja jadi gaya hidup dan hal wajib untuknya. Pak Hadi adalah yang terdekat dari pria yang ada di sekitarnya, itu karna Pak Hadi atau akrab disapa Badriah dengan sapaan Mas Hadi sangat memperhatikannya dan Badriah akan terlihat sangat manja bila didekatnya, merangkul, memeluk bahkan menciumnya. Mas Hadi seorang mengusaha Restoran kenamaan tentu saja tidak memberi bukan tanpa balasan, pria beristri dengan anak 3 ini cukup tertarik melihat tubuh Badriah dan sebenarnya tak sabar untuk segera menikmatinya. Mas Hadi adalah laki-laki yang sangat mudah kita temui dikota besar seperti Jakarta, wanita alat bagi mereka ketika sedang bosan dengan keluarganya atau jenuh dengan pekerjaannya.

Ini sudah bulan ke tujuh Badriah bekerja ditempat itu, sebuah PUB tempat hiburan malam di Jakarta dan Mas Hadi masih selalu berkunjung ke tempat itu bahkan lebih sering dari biasanya. Satu malam seperti biasa Mas Hadi berkunjung sengaja untuk menemui Badriah ditempat kerjanya, Mas Hadi mengatur janji dan meminta Badriah agar bersedia menemaninya mencari hiburan malam selepas bekerja. Badriah sudah terlalu percaya dan sungkan menolaknya, lepas tengah malam berangkatlah mereka menuju tempat yang mereka sama-sama sudah tau. Mereka akan bersenang-senang, melepaskan penat dan lelah mereka, melupakan segala persoalan dan menumpahkannya kedalam gelas meneguk habis dalam-dalam. Badriah sudah terkurung dalam ruang dominan gelap dengan lampu-lampu gemerlap ragam warna berputar, bergerak kiri kanan dan tersebar pada sisi depan ruang. Badriah dan Mas Hadi tersudut pada sisi kiri dimeja kecil tanpa bangku, 2 gelas tinggi berwadah kecil menyambut mereka seraya mengucapkan selamat datang pada kedua-Nya. Gelas berganti gelas, membuat dada yang panas kian bergerak mengikuti musik yang berdentum keras. Badriah mulai liar, suasana dan minuman yang entah sudah berapa gelas membuatnya terambang dalam 2 dunia berbeda, melayang Dia diantaranya. Badriah semakin tinggi mengangkat tangan ikuti irama masuk ke arena lantai dansa, semua bergerak dari kepala, bahu, pinggul dan kaki. Gerak badriah terus diikuti putaran gelas yang mengalir tanpa henti suguhan Mas Hadi sambil memeluknya dari belakang dan ikut bergoyang, Mas Hadi menikmati kedekatan ini. Liar nakal Badriah bahkan bisa dikatakan mulai binal, liuk liuk tubuh gemulai terbalut dress dengan penyangga 12 cm dikakinya, sesekali terjatuh bahkan sudah yang kesekian kali dan sebanyak itu pula Mas Hadi memeluknya dan menegakan kembali berdiri Badriah selanjutnya menyuguhkan kembali gelasnya yang penuh terisi.

Badriah mulai berat kepalanya lelah dan lemah, Mas Hadi orang yang disayangnya tau itu, tapi memang itu yang dituju Mas Hadi agar dengan mudah dia membawanya pergi. Hari sudah pagi, bahkan matahari terlihat sudah agak tinggi walau belum diatas kepala. Mas Hadi membawanya pergi ketempat yang tidak jauh dari tempat tadi, sebuah bangunan tinggi apartemen pribadi Mas Hadi. Tibanya mereka disana Mas Hadi merebahkan Badriah dalam ranjang besar pelabuhan beberapa wanita teman kencan Mas Hadi yang entah sudah berapa jumlahnya. Tubuh molek wajah cantik teronggok lelah dan pasrah cepat mengundang birahi Mas Hadi yang sudah terbakar amat tinggi, Mas Hadi mulai menjalankan aksinya, melucuti semua pakaiannya sendiri dan mendekati Badriah yang sudah tak sadarkan diri. Sentuhan-sentuahan jari begitu merangsang mengundang birahi Badriah membangkitkan gairah dan mulai melucuti bagian tubuh paling pribadi miliknya dalam kondisi tak sadarkan diri. Geliat dan lenguhan panjang keluar begitu saja bukan perlawanan, Badriah lelap dalam nikmat yang belum pernah dia rasakan, sudah tak ada lagi Dosa, tak ada orang tua dan agama yang menjaganya karena Badriah tak sadarkan diri. Mereka bergumul dalam kenikmatan dan Badriah mengikuti iramanya, nikmat menguasai membawa Badriah jauh dalam gelap yang tak disadarinya,  saat itu surga buatnya, yang tanpa Dia tau sebenarnya kehancuran terbesar telah menerpanya. Hilang sudah mahkota sang Putri Raja, membuatnya menjadi budak cinta, menyerahkan segalanya dengan sangat mudah.

Kian hari kian hancur Badriah, semakin hanyut dia dalam budaya baru Ibu Kota, membiarkan dirinya dibawa siapa saja yang menginginkannya dan memberikan kesempatan mereka menikmatinya. Benar saja hancur sudah segalanya, badriah semakin tak ada harga pada dirinya, dilain sisi Badriah terlihat semakin menikmati tanpa Dia tau bagaimana akhir dari cerita ini nanti. 

Dua tahun lebih sudah Badriah hidup dengan bebas tanpa batasan, kebebasan, kepuasan, banyak teman, berpesta, sex bebas, bahkan macam-macam narkoba dan sebagainya membuatnya cukup bahagia. Dia telah membuang segala aturan dan batasan, kebebasan dan ketidak teraturan buatnya adalah segalanya. Tak difikirkan lagi buah apa yang akan Dia terima nanti, yang terfikir hanya berusaha menikmati hidup dengan segala kebebasan kini dan tak ingin berhenti. Buatnya hari ini harus sebebas ini, besok lebih bebas lagi dan lagi.

Siapa yang menyemai Dia pula lah yang akan menuai, itu pepatah lama sederhana tapi pasti. Badriah telah lama menyemai hidupnya dengan kebebasan yang tanpa batasan. Badriah menyirami kehidupannya dengan air keras, memupuknya dengan ragam obat terlarang dan membuahinya dengan gaya hidup sex bebas, kini Dia harus sip dengan hasilnya. 

Badriah mulai terlihat lemah, kekebalan tubuhnya menurun, Dia menjadi seorang pesakitan tanpa kemampuan, tak dapat lagi dia bergerak bebas dalam lantai dansa, tak mampu lagi dia berkemampuan untuk meneguk bergelas-gelas minuman dan ada lagi seorangpun yang dapat memberikan cumbuan kehangatan bagi badriah. Badriah terbuang, tak ada lagi kebebasan yang Dia bisa dapatkan, hilang sudah kemampuan dan segala kelebihan yang biasa dia pertunjukan. Kini badriah tak mampu berbuat apa-apa, Dia hanya mampu menunggu sampai kapan Virus itu menggerogoti tubuhnya hingga benar-benar musnah. badriah ketakutan, kesakitan, badriah dalam rintihan dan harus bertarung dengan rasa penyesalan. HIV telah menggerogoti tubuh mulusnya, menyapu habis seluruh kebebasannya, menenggelamkan dalam kegelapan yang paling dalam. Badriah menunggu waktu, menunggu buahnya, yang telah lama disemainya, AIDS. Ya AIDS telah merubah semua mata, pandangan kekaguman yang dulu Dia dapatkan berubah jadi kebencian bahkan rasa jijik, yang awalnya berusaha mendekat dan jadi dekat sekarang tak ada lagi, Badriah terbuang, Badriah terbaring tak berkemampuan, Badriah merintih lirih, Badriah sudah tak ada waktu lagi untuk kembali Dia tau itu. Terlambat sudah, waktu tak ada lagi untuknya, Ibu Kota telah memberi jawaban untuknya, "UNTUK MU BADRIAH !".

Menyesal tak berlaku lagi, saat ini Badriah hanya butuh waktu menyusun kata yang tepat untuk disampaikan Bapak dan Ibu yang menitipkan segudang harapan kepada Badriah setelah sekian waktu tak bertemu. Badriah ingin pulang, "Tolong ibu tunggu aku datang, aku ingin pulang. Tuhan, beri aku kesempatan!!". Lusuh wajah terbilas air mata tanpa undangan, air mata yang menjerit, air mata yang merintih sakit. Badriah ingin pulang!! Erang panjang diantara waktu yang telah usang meradang, geliat tak tenang dalam lenguh dengan jerit dicelahnya berdenyit sakit, sakit dan sakit dari mulutnya. 

Badriah pulang, Dia kembali ke sebuah desa pinggiran Jawa tempat tujuan terbaiknya saat ini karena memang tak ada lagi, kendaraan cepat mengantarnya pulang, menuju rumah Orang Tuanya yang dulu membesarkan dan merawatnya penuh cinta, penuh kasih, penuh sayang dengan sebesar-besar harapan kepada Badriah. 

Kendaraannya sudah tiba disebuang pekarang rumah yang sepi dan tak
 terlihat orang yang dicari, dua orang berseragam turun dari kendaraaan mencari tuan rumah yang lanjut senja usianya. Lama ketukan pintu dirumah itu, selanjutnya terdengar pelan dari dalam langkah pelan terseok-seok. Bapak Badriah menuju pintu depan rumah sambil si Istri dipapah dibahunya, itu karena sejak satu tahun lalu dia tak dapat lagi berjalan sempurna karena rematik parah yang dideritanya. Dimuka pintu Bapak Badriah berdiri menemui dua pemuda tadi, dan ada perlu apa datang ke rumah ini. Pelan salah satu pemuda tadi coba menjelaskan bahwa kedatangan mereka adalah untuk mengantar Badriah pulang. Ini kejutan bagi mereka setelah sekian lama Badriah tak berkabar, akhirnya Badriah benar-benar pulang. Rasa senang tak dapat mereka sembunyikan, tersirat jelas dari wajah mereka Bapak Badriah yang Haji dan ibunya penyemai padi. Pemuda itu menjelaskan badriah ada dalam kendaraan yang mereka bawa dan menawarkan diri untuk membantu menurunkannya. Ibundanya dengan langkah cepat mendekatinya, meski terseok-seok dia tetap berusaha cepat menemui badriah, sempat terjatuh sekali dan Dia bangkit lagi, langkah dan air matanya berlomba adu cepat. Badriah masih disana didalam kendaraaannya, aroma wangi dan wajah cantik masih terlihat meski tanpa riasan pada tubuhnya. Ibunya tak sabar untuk menyapanya, tapi Badriah diam saja, berkali dan badriah tak sekalipun membalas sapaannya. Air mata mengalir disusut mata Bapaknya sambil sesekali mengelus dada mengucapkan kata sabar untuk istrinya. Ada apa dengan badriah tanya Ibunya, "Nak, ini ibu, bangun nak!! ibu rindu periang mu, tawa mu, canda mu juga manjamu ketika mengadu dibahuku, Bangun nak!!". Ibunya sedikit pun tak percaya dengan yang ada didepan matanya, ini bukan badriah yang selalu menjawab ketika ditanya, selalu manja bila didekatnya dan banyak cerita ketika berjumpa.

Dipegangnya bahu sang istri, dirangkul dan dibawanya dibale, tempat dimana Badriah disisir rambut oleh ibunya setiap hari pada masa kecilnya hingga remajanya. Lemah mereka menunggu sang anak Badriah keluar dari kendaraan dengan balutan kain putih terbaring dalam ranjang yang tak biasa, tatapan lemah menyambutnya dengan isak yang hampir tak terdengar. Badriah putri satu-satunya telah pergi jelas si Bapak sambil bebisik, dengan kata sabar diawal dan akhir kalimatnya. Ya, Badriah telah pergi ketempat peraduannya, meninggalkan sejuta kenangan dan hancurkan harapan atasnya. "ikhlaskanlah...ikhlaskanlah...ikhlaskanlah kepergiannya!!, berdoalah semoga Tuhan mengampuni segala dosanya, menerima segala amalnya dan mengumpulkan kita kembali didalam surganya..".

"BADRIAH TELAH BERPULANG, JALANNYA TELAH BERAKHIR, BADRIAH GADIS DESA TENGAH KOTA"

SELAMAT JALAN BADRIAH !!

#cerita ini didedikasikan untuk 2 orang, pertama yang punya judul dan banyak bikin inspirasi baru IPEH namanya..thanks..dan yang kedua untuk DEDE KIKI yang dah bikinin blog ini akhirnya bisa bikin gue tambah rajin nulis..



Komentar

  1. Cerita seperti ini sudah banyak diangkat, tapi pemilihan katanya cukup orisinil. perhatikan lagi cara penulisan dan EYD. "Di" sebagai imbuhan dan kata depan sering tertukar...

    BalasHapus
  2. aksih privat bahasa dong neng biar bisa bener nulisnya, maklum ak emang awam untuk urusan tata bahasa..makasih komentarnya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENUNGGU PUNAH

AKU PAMIT SEKALI LAGI